Sabtu, 19 Mei 2007

TAK SEMUA PENYAKIT PERLU ANTIBIOTIK

By Marfuah Panji Astuti

Selama ini antibiotik dipercaya sebagai obat manjur yang dapat mengenyahkan
berbagai penyakit. Padahal tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik!

Dunia kedokteran modern berkembang pesat dengan ditemukannya antibiotik pada
tahun 1928 oleh Alexander Fleming. Perkembangannya sungguh fantastis, hingga
sekian puluh tahun kemudian masyarakat begitu mudah mendapatkan antibiotik
di pasaran. Kala terserang flu atau pusing, orang dengan mudah mengobati
dirinya sendiri dengan membeli antibiotik di apotek. Sebagian beranggapan,
kalau hanya sakit ringan tidak perlu ke dokter. Toh paling-paling dokter
akan memberikan resep yang sama dengan antibiotik yang bisa dibeli sendiri
di apotek.

Padahal penggunaan antibiotik yang sembarangan dapat berakibat fatal.
“Apalagi tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik,” tandas DR. Dr. Rianto
Setiabudy, dari Bagian Farmakologi FKUI.

HARUS SESUAI INDIKASI

Pada prinsipnya antibiotik adalah obat yang digunakan untuk membunuh kuman
penyakit dalam tubuh manusia dan menyembuhkannya dari infeksi. Itu pun hanya
infeksi kuman yang harus dicermati lebih dulu, sehingga antibiotik yang
diberikan bisa cocok dengan infeksi yang diderita. “Penggunaan antibiotik
yang benar harus sesuai dengan indikasinya. Contohnya ada infeksi kulit
seperti bisul atau abses,” kata Rianto.

Akan halnya infeksi virus, maka pada kasus ini tidak dibutuhkan antibiotik.
Jadi pemakaian antibiotik untuk mengobati penyakit yang disebabkan virus
seperti influenza tidak disarankan. “Influenza sebetulnya tidak dapat
diobati dengan antibiotik,” ungkap Rianto. Apalagi kalau ada dokter yang
memberikan dua jenis antibiotik untuk sakit flu. “Ini sangat disesalkan.”

Antibiotik yang diberikan secara tidak tepat, alih-alih menyembuhkan
penyakit, yang ada justru menimbulkan banyak kerugian, di antaranya:

* Menimbulkan Kekebalan

Dalam tubuh manusia terdapat kuman-kuman “normal” yang memang dibutuhkan
tubuh dan tidak memunculkan penyakit. Dengan konsumsi antibiotik berulang,
kuman “normal” ini akan menjadi kebal. Lalu kekebalannya bisa ditularkan
pada kuman lain, termasuk kuman yang menyebabkan penyakit. Jadi antibiotik
yang dikonsumsi berulang-ulang dapat menimbulkan kekebalan, apalagi bila
penggunaan itu sebenarnya tidak perlu. Dikhawatirkan, bila terjadi infeksi
yang betul-betul membutuhkan antibiotik, obat tersebut sudah tidak lagi
efektif karena tubuh sudah resisten.

* Memunculkan Reaksi Alergi

Bila penggunaannya tidak tepat, antibiotik bisa menyebabkan alergi, seperti
gatal, mual, pusing, dan sebagainya. Seringkali dokter menanyakan apakah
pasien memiliki alergi obat tertentu atau tidak. “Dokter yang menanyakan hal
ini pada pasiennya harus dipuji karena dia termasuk dokter yang teliti,”
komentar Rianto. Sayangnya, yang sering terjadi pasien tidak tahu apakah
dirinya alergi terhadap obat tertentu atau tidak.

Lalu bagaimana sebagai pasien kita harus menjawabnya? Seandainya sama sekali
tidak tahu pasti apakah punya riwayat alergi obat atau tidak, “Sebaiknya ya
jawab apa adanya. Dokter pasti akan membantu meresepkan obat yang aman. Tapi
kalau tahu, misalnya alergi penisilin atau amoksilin, tentu dokter tidak
akan meresepkannya.”

Walaupun belum ada angka pasti berapa banyak orang yang alergi terhadap
antibiotik di Indonesia, yang paling banyak dijumpai adalah alergi
penisilin. Alergi terhadap obat biasanya ditandai dengan gejala gatal-gatal,
sesak napas ataupun reaksi lainnya.

* Harga Obat Jadi Mahal

Penambahan antibiotik yang tidak perlu akan membuat harga obat yang harus
ditebus pasien jadi makin mahal. Dalam hal ini pasien punya hak untuk
memberikan pandangannya kepada dokter. Misalnya kalau untuk sakit flu dokter
meresepkan antibiotik, tanyakan saja apakah itu memang perlu. Lebih baik
lagi, berobat saja ke dokter yang memang selektif dalam meresepkan
antibiotik.

KEMUNGKINAN EFEK SAMPING

Efek samping antibiotik tidak mesti muncul dari penggunaan jangka panjang
karena penggunaan jangka pendek pun bisa saja menimbulkan kerugian.
Misalnya, pada orang-orang tertentu, antibiotik yang masuk ke tubuh dapat
memunculkan reaksi berlebihan. Akibat yang paling parah di antaranya Sindrom
Steven Johnson, yang bisa berujung kematian.

Adapun jangka waktu penggunaan antibiotik sangat bervariasi tergantung pada
berat ringannya penyakit. Untuk infeksi kuman yang ringan, penggunaan selama
lima hari sudah cukup. Sedangkan untuk infeksi kuman yang sifatnya khusus,
seperti TBC, waktu yang dibutuhkan jelas lebih lama, minimal 6 bulan.
Berikut beberapa contoh antibiotik dan kemungkinan efek samping yang bisa
ditimbulkannya:

Namun, bukan berarti obat-obat tersebut tidak boleh dikonsumsi, karena
manfaatnya justru besar bila digunakan dengan indikasi yang benar. Sudah
banyak bukti bahwa antibiotik dapat menyelamatkan nyawa manusia. Yang perlu
kita lakukan adalah bersikap hati-hati, karena penggunaannya yang salah
dapat berakibat fatal.

Jenis antibiotik

Efek samping

Gentamisin

Kerusakan ginjal

Kloramfenikol

Kerusakan sumsum tulang sehingga berpengaruh pada produksi sel darah
merah
dan sel darah putih, bisa mengakibatkan kematian.

Penisilin

Syok anafilaksis (turunnya tekanan darah secara drastis dan tiba-tiba, bisa
menyebabkan kematian) atau reaksi pada kulit

Sulfa

Reaksi hipersensitivitas

DOSIS DULU DAN SEKARANG

Selama pengobatan, biasanya antibiotik diminum 2-3 kali sehari. Akan tetapi
seiring dengan kemajuan dunia kedokteran, antibiotik jenis tertentu bisa
dikonsumsi hanya satu kali sehari. Soal efektivitasnya, menurut Rianto sama
saja. Kalau antibiotik yang diberikan 3 kali sehari punya masa kerja kurang
lebih 8 jam, maka yang dosisnya 1 kali sehari pun dibuat dengan masa kerja
yang lebih lama.

Ada keuntungan lebih yang didapat dengan mengonsumsi obat sekali sehari,
yakni terhindar dari kemungkinan lupa dan tidak harus terlalu sering minum
obat. Lebih menyenangkan, bukan? Namun, harap diingat antibiotik yang bisa
diminum sekali sehari belum tersedia untuk semua penyakit infeksi kuman.

HARUSKAH DIHABISKAN?

Bila penggunaan antibiotik tersebut tepat sesuai indikasi, tak ada cara lain
kecuali harus dihabiskan. Contohnya untuk infeksi saluran pernapasan bawah
yang disebabkan oleh kuman. Kalau dokter meresepkan harus dikonsumsi selama
7 hari dan harus dihabiskan, maka selama 7 hari itu harus benar-benar
dihabiskan, supaya tidak terjadi pemburukan pada penyakit tersebut.

Sedangkan antibiotik yang tidak tepat penggunaannya, misalnya untuk flu yang
memang tidak membutuhkan antibiotik ya sebaiknya segera dihentikan. Makin
cepat menghentikan konsumsi antibiotik yang tidak benar, tentu semakin baik.

JANGAN UBAH BENTUKNYA

Yang juga harus diingat adalah jangan mengubah bentuk antibiotik yang
diresepkan dokter. Bila bentuknya tablet, maka obat itu harus dikonsumsi apa
adanya. Seringkali karena kesulitan minum obat, maka sebelum diminum tablet
itu digerus dulu. Atau kalau berupa kapsul dibuka dulu kemasannya. Ini jelas
tidak benar. Pemakaian obat yang salah tidak akan menghasilkan efek maksimal
lantaran obat tersebut tidak diserap tubuh secara optimal.

Contohnya, tidak semua tablet bisa digerus karena ada yang dilapisi dengan
lapisan khusus agar tidak teroksidasi. Bila isi tablet tersebut terpapar
sinar matahari atau zat lainnya, maka stabilitasnya jadi menurun. Bahkan
obat yang digerus di apotek pun tidak sepenuhnya aman dari human error.
“Karena setelah digerus obat tersebut harus melalui beberapa proses lagi,
seperti ditimbang dan sebagainya, sehingga rawan salah.”

Belum lagi ada beberapa antibiotik tertentu yang dilapisi enteric coated
tablet. Pelapisan ini dimaksudkan supaya obat tidak pecah di lambung. Ingat
lambung memiliki kondisi asam yang akan merusak antibiotik sebelum diserap
oleh tubuh. Kalau obat tersebut dapat terjaga utuh sampai usus halus yang
kondisinya sudah tidak asam lagi, maka obat tersebut terhindar dari
kerusakan dini dan dapat diserap tubuh dengan baik.

Itulah mengapa di beberapa negara maju, seperti Amerika dan Australia, sudah
tidak ada lagi obat yang dikonsumsi dalam bentuk puyer. “Semua obat
dikonsumsi apa adanya, sehingga lebih aman.”

ANTIBIOTIK GENERIK VS PATEN

Belakangan marak dikampanyekan pemakaian obat generik, termasuk jenis
antibiotik. Adakah perbedaan efektivitas antara antibiotik generik dengan
yang paten? “Sama sekali tidak ada,” tandas Rianto. Obat generik sama
manjurnya dengan obat paten. Bahkan seringkali diproduksi di pabrik yang
sama dengan proses yang sama pula.

Bedanya yang satu diberi nama dagang dan menjadi obat paten yang harganya
lebih mahal. Sedangkan yang tidak memakai nama dagang atau dikenal dengan
istilah generik, harganya relatif lebih murah.

Namun harus diingat tidak semua obat memiliki versi generiknya. Kalau memang
obat tersebut tidak ada generiknya, mau tidak mau pasien harus membeli obat
dengan merek paten.

MINUMLAH OBAT SEPERLUNYA

Ada beberapa hal yang dianjurkan Rianto sehubungan dengan konsumsi
antibiotik, berikut di antaranya;

- Orang tua sebaiknya “waspada” dengan mencari dokter yang bisa meresepkan
obat secara baik dan benar.

- Bila diresepkan sederet obat dan banyak macamnya, sebaiknya langsung
tanyakan. Dokter yang baik hanya akan meresepkan obat yang memang sesuai
dengan indikasi penyakit yang diderita pasien saja.

- Kalau demam, batuk, dan flu ringan, boleh saja menggunakan obat yang
dijual di pasaran sebagai pertolongan pertama tapi jangan langsung
mengandalkan antibiotik.

- Jangan sembarangan menggunakan antibiotik, meski mungkin bisa dibeli
sendiri di apotek.

@ Milis sehat



0 comments:

Posting Komentar

Share & Enjoy

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More